RSS Feed

Jumat, 02 April 2010

Hubungan Negara dan Pasar di Era Neoliberalisme
Ditulis dalam Demokrasi, Sosial oleh
The Young Community di/pada 2 Juni 2009
Rate This


Barat, kini sedang berada di jalurnya yang benar: membebaskan dirinya dari kungkungan negara. Atau lebih khusus lagi, membebaskan pasar dari intervensi negara. Inilah inti dari demonisasi Boaz dan Crane terhadap peran negara dalam urusan ekonomi. Atau dalam bahasa Ronald Reagan, “jika kita ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi, maka kita harus mengurangi pertumbuhan negara.” Benarkah demikian?
Oleh Coen Husain Pontoh

Perdebatan publik soal neoliberalisme, kini makin lama makin menarik. Perdebatan mana tidak semata berkaitan dengan posisi politik para Capres-Cawapres, tapi lebih ingin menegaskan dan menjernihkan posisi teoritis dari masing-masing kubu neoliberal dan anti-neoliberal. Ini tentu sebuah kemajuan yang patut diapresiasi.
Salah satu topik yang banyak diperdebatkan, menyangkut hubungan antara negara dan pasar. Kalangan pendukung neoliberal bersikukuh, tidak ada fakta historis bahwa pasar menolak keberadaan negara. Mereka memberi contoh, bahkan di Amerika Serikat pun, negara yang sering dicap sebagai kampiun neoliberal, peran negara dalam pasar tetap sangat dibutuhkan. Seperti yang akan saya tunjukkan, argumen ini separuh benar. Yang tidak disebutkan oleh pendukung neoliberalisme itu, peran negara seperti apa yang dibutuhkan oleh pasar tersebut.
Ekonom David Boaz dan Eward H. Crane, dari lembaga think-thank neoliberal, Cato Institute yang berbasis di Washington, AS, dalam buku “Market Liberalism A Paradigm for the 21st Century,” bahkan sampai merujuk ke jaman antik untuk menekankan pentingnya pasar bebas dari intervensi negara. Tetapi, menjelang akhir abad ke-20, demikian Boaz dan Crane, Barat dan lainnya berada dalam kungkungan pemerintahan yang terlalu besar serta lembaga-lembaga yang tidak efektif. Mereka menyebut sosialisme birokratik di Rusia dan Eropa Timur, otokrasi di Amerika Latin, totalitarianisme despotis di Asia, rejim kleptokrasi di Afrika, dan negara kesejahteraan di Barat, sebagai bentuk penyimpangan dari sejarah panjang Barat akan tradisi kebebasan.
Kemudian, menyusul runtuhnya rejim nasional Keynesianisme, Boaz dan Crane merayakan sebuah babakan baru dari sejarah Barat: jatuhnya rejim-rejim militer di Amerika Latin yang disusul dengan ditegakkannya pemerintahan demokratis, dan dimulainya proyek privatisasi perusahaan negara serta dihapuskannya kebijakan yang memproteksi industri domestik dari kompetisi global. Berpalingnya Cina dari jalan sosialisme menuju jalan kapitalis yang ditandai oleh privatisasi sektor pertanian, juga dianggap sebagai bagian dari babakan baru itu. Demikian juga dengan privatisasi ratusan perusahaan milik negara di Inggris, serta kebijakan perestroika dan glasnost di Uni Sovyet, adalah bagian tak terpisahkan.
Barat, kini sedang berada di jalurnya yang benar: membebaskan dirinya dari kungkungan negara. Atau lebih khusus lagi, membebaskan pasar dari intervensi negara. Inilah inti dari demonisasi Boaz dan Crane terhadap peran negara dalam urusan ekonomi. Atau dalam bahasa Ronald Reagan, “jika kita ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi, maka kita harus mengurangi pertumbuhan negara.”
Benarkah demikian?
Negara dan Rejim
Sebelum lanjut, saya ingin mengklarifikasi dua istilah yang sering sekali dipertukarkan dalam pemaknaan yang sama: negara dan rejim. Padahal esensinya, kedua istilah ini memiliki perbedaan yang mencolok. Untuk itu, saya mau meminjam analisa James Petras, Morris Morley, dan Richard Robison dkk.
Petras dan Morley, mengatakan, negara adalah lembaga-lembaga politik permanen dalam masyarakat seperti, militer, pengadilan, birokrasi sipil, dan pejabat-pejabat tinggi bank sentral. Lembaga-lembaga politik permanen ini menyatu dengan sistem kelas yang berkuasa dan secara bersama-sama mereka membentuk “the state.” Mereka ini kedudukannya tidak dipilih oleh rakyat melalui mekanisme pemilihan umum, misalnya.
Ambil contoh bank sentral. George Cooper dalam bukunya “The Origin of Financial Crises,” mengatakan, saat ini bank sentral adalah lembaga yang paling menentukan dalam dunia modern. Apa yang diputuskan oleh bank sentral akan menentukan berapa besar bunga yang kita peroleh dari tabungan kita atau berapa besar biaya yang mesti kita keluarkan untuk mencicil angsuran rumah. Secara tidak langsung, keputusan mereka menentukan nilai dari rumah kita, pensiun kita, dan biaya mingguan atas belanjaan kita di toko eceran. Kebijakan mereka juga bisa mempercepat ekspansi ekonomi atau sebaliknya, mendorong ekonomi ke jurang resesi.
Pokoknya, apa yang diputuskan bank sentral sangat memengaruhi aktivitas kita sehari-hari. Jauh lebih besar ketimbang apa yang diputuskan oleh para politisi di parlemen. Sialnya, dengan kekuasaan yang sedemikian besar, para pejabat bank sentral itu bebas dari mekanisme checks and balaces, seperti yang lazim menimpa para pemimpin yang dipilih rakyat.
“Tidak pernah ada di dunia ini,” demikian Cooper, “gubernur bank sentral di pilih oleh rakyat, dan sekali mereka menduduki jabatan itu, mereka selalu mengambil jalan yang berjarak dari pengaruh politik.”
Sementara itu, rejim adalah elemen-elemen pejabat non-permanen yang menduduki cabang eksekutif dan legislatif. Mereka ini, biasanya, dalam merancang kebijakan berada dalam koridor negara dan kepentingan kelas dominan. Ketika rejim berbeda secara substansial dari negara, krisis muncul ke permukaan – yang biasanya berakhir dengan pergantian rejim melalui kudeta oleh negara. Robison dkk, menambahkan, rejim, adalah tipe-tipe tertentu dari organisasi negara yang mewujud dalam beragam bentuk seperti, demokrasi liberal, demokrasi korporatis, demokrasi oligarki, kediktatoran, fasisme, otoritarianisme korporatis, totalitarianisme, dsb.
Bersandar pada penjelasan ini, istilah negara yang saya gunakan di sini mengacu pada Negara Kapitalis. Dan di dalam negara kapitalis itu, rejim neoliberal mendapatkan kesempatan emas untuk merealisasikan proyek-proyeknya. Boleh jadi, di dalam negara kapitalis ini, rejim yang berkuasa adalah rejim anti-neoliberal. Hugo Chavez di Venezuela, Evo Morales di Bolivia, atau Rafael Correa di Ekuador, adalah tipe rejim anti-neoliberal di sebuah negara kapitalis.
Indonesia pasca kemerdekaan juga punya contoh menarik soal ini. Sebagai negara kapitalis, Indonesia pernah dipimpin oleh rejim nasionalis-populis Soekarno. Antara rejim Soekarno dan negara berbeda kepentingan dan karena itu, rejim Soekarno harus ditumbangkan. Pasca itu, rejim Orde Baru (Orba), bergandeng mesra dengan negara, yang oleh Robison, dikatakan, “negara Orba menjadi bagian integral dari perkembangan kapitalisme dan kelas kapitalis Indonesia.” Rejim ini hanya tumbang oleh gerakan rakyat yang masif.
Tetapi, kita lihat, walaupun rejim Orba telah tumbang dan muncul rejim baru hasil pemilu (electoral regime), negara Indonesia tetaplah negara kapitalis. Status ini tidak berubah, walaupun rejim elektoral datang silih berganti.
Mengubah watak intervensi
Jika secara teoritik kalangan neoliberal menendang peran negara dalam pasar, bagaimana dalam prakteknya?
Mari kita mulai dengan prinsip dasar cara kerja sistem kapitalisme. Dalam masyarakat kapitalis, motivasi dan tujuan utama dari sistem masyarakat ini adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Keuntungan merupakan rangsangan utama para kapitalis untuk berinvestasi. Sebaliknya, jatuhnya tingkat keuntungan akan membuat para kapitalis enggan berinvestasi, sehingga tingkat akumulasi menurun dan ujung-ujungnya mengirim ekonomi kapitalis ke dalam resesi.
Soalnya darimana keuntungan itu diperoleh? Apakah dari selisih harga jual yang lebih besar dari harga produksi, seperti kewajaran yang diterima luas selama ini? Ekonom Anwar Shaikh mengatakan, agar keuntungan itu terus diperoleh, maka individu atau perusahaan kapitalis harus menghadapi dua medan pertempuran: pertama, melawan kepentingan buruh upahannya; dan kedua, menghadapi kompetitornya sesama individu atau perusahaan kapitalis di pasar.
Dalam proses kerja, produktivitas buruh ditentukan oleh dua hal: (1) kondisi teknologi yang digunakan; dan (2) panjang dan intensitas waktu kerja buruh. Sementara di medan pertukaran, seorang individu kapitalis akan dipaksa untuk menggunakan segala macam cara untuk memenangkan kompetisi. Jika harus beriklan dengan biaya sangat mahal, padahal materi iklan boleh jadi bohong, hal itu akan digunakan. Bahkan kalau perlu menyabotase produk kompetitor.
Dengan karakteristiknya yang seperti itu, Gordon, Weisskopf, dan Bowles, mengatakan, keuntungan yang diraup para kapitalis bukanlah hasil dari jual-beli komoditi dalam ruang zero-sum game bagi penjual dan pembeli. Kapitalis memperoleh keuntungan, kata mereka, sebagai hasil dari dominasi kekuasaan kelas kapitalis atas aktor-aktor ekonomi lain yang berkonfrontasi dengannya. Atau, kapitalis memperoleh keuntungan melalui hubungan ekonomi dengan aktor-aktor ekonomi di luar kelas kapitalis. Misalnya, ketika buruh menjual tenaga kerjanya dengan harga murah, dan kemudian membeli barang kebutuhan sehari-harinya dengan harga mahal, maka kapitalis telah memperoleh keuntungan.
Hubungan kedua yang mempengaruhi tingkat keuntungan terjadi dalam pertukaran internasional. Jika nilai tukar internasional tergantung pada harga ekspor dan impor, maka penentuan harga sangat ditentukan oleh pengaruh diplomasi, militer, dan tekanan-tekanan lain yang berbeda dari karakter pertukaran di pasar.
Hubungan ketiga yang juga berpengaruh pada tingkat keuntungan – menyangkut hubungan antara kelas kapitalis dengan negara – juga merefleksikan keterlibatan kekuasaan. Misalnya, bagaimana aliansi kekuasaan membentuk kebijakan negara, dalam hal ini tingkat pajak, ketersediaan tenaga kerja, perubahan teknik, dan tingkat pemanfaatan kapasitas. Keseluruhannya ini akan sangat mempengaruhi tingkat keuntungan yang bakal diperoleh para kapitalis.
Dalam hubungannya dengan negara, Ellen Meiksins Wood, berpendapat, benar bahwa di era kapitalisme terjadi pemisahan antara kekuasaan ekonomi dan kekuasaan politik atau disebutnya juga kekuatan “extra-economic.” Dalam masyarakat non-kapitalis, seperti masyarakat feodal, ujar Wood, para tuan feodal membutuhkan kontrol langsung dari aparatus kekerasan militer atau kekuasaan politik untuk menghisap buruh mereka, karena buruh tersebut tidak memiliki apa-apa dan tidak memiliki akses langsung pada alat-alat produksi, sehingga mesti menjual tenaga kerjanya untuk ditukar dengan upah guna kelangsungan kerja dan hidupnya.
Keadaan ini berbeda dengan masyarakat kapitalis. Mereka tidak membutuhkan kontrol langsung dari aparatus militer untuk mengeksploitasi buruh-buruhnya. Proses eksploitasi tersebut, dalam masyarakat kapitalis, berlangsung di wilayah pasar. Itu sebabnya, baik kapitalis maupun buruh, sangat tergantung pada pasar. Maka kata Wood, kekerasan dalam masyarakat kapitalis, tidak hanya bersifat personal dan langsung melalui alat-alat kekauasaan yang superior tapi, juga berlaku secara tidak langsung dan impersonal melalui pemaksaan oleh pasar.
Tetapi, Wood buru-buru mengingatkan, bukan berarti kapitalis tidak membutuhkan negara atau kekuasaan politik. Bahkan, pada akhirnya, para kapitalis sangat tergantung pada kekuasaan negara untuk menyokong kekuasaan ekonominya, memperkuat hak kepemilikannya, serta mengatur tata sosial dan kondisi-kondisi yang menguntungkan bagi proses ekspansi dan akumulai kapital.
Berbeda dengan Wood, sosiolog Wiliam I. Robinson, mengatakan, gagasan mengenai pemisahan antara kekuasaan negara dan pasar, tidak pernah ada dalam realitas. Kedua domain ini sebenarnya saling beririsan bahkan menyatu. Baginya, gagasan tentang state-market dualism, sesungguhnya adalah sebuah cara untuk melapangkan jalan bagi beroperasinya modal transnasional ke seluruh pelosok dunia. Tanpa dukungan kekuasaan negara, kekuasaan ekonomi akan terjatuh dalam stagnasi.
Berangkat dari titik pijak yang berbeda, Wood dan Robison tiba pada kesimpulan yang sama, peran negara sungguh begitu dominan dan esensial. Tanpa intervensi negara (melalui sumberdaya dan aparatus kekuasaannya), ekspansi dan akumulasi kapital tak mungkin berlangsung secara besar-besaran. Lebih-lebih dalam era imperialisme, di mana pemenuhan kebutuhan dalam negeri sangat tergantung pada pasokan dari luar negeri, keterlibatan negara, terutama AS, sangat jelas sekali. Pada titik ini, soalnya kemudian bukan apakah intervensi negara itu harus atau tidak, baik atau buruk. Yang mesti kita persoalkan adalah bagaimana watak dari intervensi itu.
Untuk memperjelas argumen ini, saya mau menyitir studi dari Vincent Navarro, profesor kebijakan publik dari Harvard University, AS. Menurut Navarro, di AS, misalnya, di masa pemerintahan Ronald Reagan yang dianggap sangat neoliberal, pengeluaran publik pemerintah federal tak pernah menyusut, dari 21.6 menjadi 23 persen dari GNP. Peningkatan itu sebagai konsekuensi pertumbuhan spektakuler belanja militer dari 4.9 menjadi 6.1 persen dari GNP. Peningkatan belanja publik ini dibiayai dari peningkatan defisit anggaran federal dan peningkatan pajak.
Koboi Reagan yang seharusnya merupakan presiden yang paling anti-pajak, dalam sejarah AS terbukti merupakan presiden yang memajaki bagian terbesar rakyat di masa damai. Ia bahkan menaikkan pajak dua kali yakni, pada 1982 dan 1983. Celakanya, ia memotong drastis pajak bagi 20 persen penduduk berpendapatan tinggi, sembari menaikkan pajak bagi mayoritas populasi.
Kenyataan ini menunjukkan dua hal: pertama, tidak benar bahwa Reagan melucuti peran negara, dengan memangkas belanja publik. Tidak heran jika Navarro mengatakan, bahwa kebijakan Reagan lebih mewakili semangat Keynesian ketimbang dogma neoliberal; kedua, apa yang dilakukan Reagan adalah mengubah watak intervensi negara dengan lebih melayani kepentingan kelas atas dan kelompok-kelompok ekonomi (perusahaan yang berhubungan dengan militer), yang telah mendanai kampanyenya. Pada saat yang sama, ia membuat kebijakan yang melawan kepentingan mayoritas rakyat AS, melalui kebijakan anti-buruh dan pemotongan belanja sosial hingga ke taraf yang tak pernah terbayangkan dalam sejarah AS.
Pasca Reagan (Bush Sr. Clinton, dan Bush Yr), peran negara makin menguat, di bidang ekonomi, politik, budaya, dan keamanan. Di bidang ekonomi, misalnya, proteksi negara sangat besar terutama dalam bentuk subsidi pada sektor pertanian skala besar, militer, penerbangan, dan biomedis. Di bidang sosial, intervensi negara menjelma dalam wujud pelemahan hak-hak sipil, khususnya hak-hak buruh. Fakta ini diakui terang-benderang oleh John Williamson, arsitek utama “Konsensus Washington,” dimana katanya, “kita harus mengerti bahwa apa yang pemerintah AS promosikan ke luar negeri, sebenarnya tak mereka lakukan di dalam negeri.” Atau dengan kata lain, jika kita ingin mengerti kebijakan publik pemerintah AS, kita mesti melihat apa yang mereka lakukan, bukan apa yang mereka katakan.
Lebih lanjut Navarro mengatakan, peran negara yang besar (diukur berdasarkan belanja publik per kapita) dalam ekspansi kapital global ini, tidak hanya terjadi di AS saja. Hal yang sama juga terjadi di sebagian besar negara kapitalis maju, dimana intervensi negara bukannya makin berkurang malah semakin besar.
“….my argument is that the state is more essential than ever to capital, even, or especially, in its global form,” ujar Wood.
Kepustakaan:
David M. Gordon, Thomas E. Weisskopf, and Samuel Bowles, “Power, Accumulation, and Crisis: The Rise and Demise of the Postwar Social Structur of Accumulation,” in Robert Cherry et.al., “The Imperiled Economy Mocroeconomics from a left Perspective,” The Union for Radical Political Economics, New York, 1987.
David Boaz and Edward H. Crane, “Market Liberalism A Paradigm for the 21st Century,” Cato Institute, Washington, 1993.
Ellen Meiksins Wood, “Empire of Capital,” Verso, London, 2005.
George Cooper, “The Origin of Financial Crises,” Harriman House, September 1, 2008.
James Petras and Morris Morley, “Latin America In The Time of Cholera Electoral Politics, Market Economics, And Permanent Crisis,” Routledge, NY, 1992.
Richard Robison, et.al, “Southeast Asia in The 1990s Authoritarianism Democracy & Capitalism,” Allen & Unwin, Australia, 1993.
William I. Robinson, “A Theory of Global Capitalism Production, Class, and State in a Transnational World,” The John Hopkins University Press, 2004.
Vincent Navarro, “The Worldwide Class Struggle,” Monthly Review, NY
September, 2006
Data kajian
Forum mahasiswa Seram Bagian Timur (FORMASERBATI) Makassar

Kamis, 01 April 2010

NEGARA DAN MASYARAKAT SIPIL
PERSPEKTIF HEGEL, MARX DAN GRAMSCI

Posted by heruwahyu under Civil Society, Gramsci, Hegel, Karl Marx, masyarakat sipil, negara Tag: Civil Society, Gramsci, Hegel, Karl Marx, Marx, masyarakat sipil, negara
Leave a Comment.

Oleh Heru Wahyu Jatmiko
Istilah masyarakat sipil bagi sebagian besar masyarakat Indonesia merupakan istilah baru. Tidak mengherankan bila banyak yang bertanya-tanya mengenai arti dari kata itu. Kenyataan ini bisa dimengerti mengingat demokrasi baru menjadi kenyataan setelah Orde Baru berhasil ditumbangkan.
Dalam rangka memahami makna masyarakat sipil (civil society) itu perlu ditelusuri pemaknaannya dari sejarah pemikiran terdahulu. Penelusuran pengartian civil society tidak bisa dilepaskan dari pemikiran negara karena keberadaan civil society erat terkait dengan konsep negara itu sendiri. Oleh karena itu pembicaraan mengenai civil society selalu dibarengi dengan pembicaraan mengenai negara.
Penelusuran pemikiran ini membatasi diri pada pemikiran Hegel, Karl Marx dan Antonio Gramsci. Pembahasan akan dimulai dari Hegel kemudian Marx dan terakhir Gramsci. Pengurutan pembahasan berdasarkan kronologi sejarah itu sendiri. Dalam pembahasan ini akan dicoba diperlihatkan pemikiran mana yang disangkal oleh pemikiran selanjutnya, pemikiran mana yang diterima atau dirumuskan kembali dengan pemikiran baru. Pada bagian akhir tulisan ini, diberikan kesimpulan yang berisi garis besar pembahasan tulisan dan kontribusi pemikiran-pemikiran tokoh ini bagi pemaknaan demokrasi.

HEGEL: NEGARA DAN MASYARAKAT SIPIL
A. Teori Dialektika Hegel
Pemikiran Hegel tidak bisa dilepaskan dalam dialektika antara tesis, antitesis dan sintesis. Dalam bukunya Philosphy of Right, negara dan masyarakat sipil ditempatkan dalam kerangka dialektika itu yaitu keluarga sebagai tesis, masyarakat sipil sebagai antitesis dan negara sebagai sintesis.
Dialektika itu bertolak dari pemikiran Hegel bahwa keluarga merupakan tahap pertama akan adanya kehendak obyektif. Kehendak obyektif dalam keluarga itu terjadi karena cinta berhasil mempersatukan kehendak. Konsekuensinya, barang atau harta benda yang semula milik dari masing-masing individu menjadi milik bersama. Akan tetapi, keluarga mengandung antitesis yaitu ketika individu-individu (anak-anak) dalam keluarga telah tumbuh dewasa, mereka mulai meninggalkan keluarga dan masuk dalam kelompok individu-individu yang lebih luas yang disebut dengan masyarakat sipil (Civil Society). Individu-individu dalam masyarakat sipil ini mencari penghidupannya sendiri-sendiri dan mengejar tujuan hidupnya sendiri-sendiri. Negara sebagai institusi tertinggi mempersatukan keluarga yang bersifat obyektif dan masyarakat sipil yang bersifat subyektif atau partikular.
Meskipun logika pemikiran Hegel nampak bersifat linear, namun Hegel tidak memaksudkannya demikian. Hegel memaksudkannya dalam kerangka dialektika antara tesis, antitesis dan sintesis. Dalam kerangka teori dialektikanya ini, Hegel menempatkan masyarakat sipil di antara keluarga dan negara. Dengan kata lain, masyarakat sipil terpisah dari keluarga dan dari negara.
B. Masyarakat Sipil (Civil Society)
Masyarakat sipil bagi Hegel digambarkan sebagai masyarakat pasca Revolusi Perancis yaitu masyarakat yang telah diwarnai dengan kebebasan, terbebas dari belenggu feodalisme. Dalam penggambaran Hegel ini, Civil Society adalah sebuah bentuk masyarakat dimana orang-orang di dalamnya bisa memilih hidup apa saja yang mereka suka dan memenuhi keinginan mereka sejauh mereka mampu. Negara tidak memaksakan jenis kehidupan tertentu kepada anggota Civil Society seperti yang terjadi dalam masyarakat feodal karena negara dan civil society terpisahkan.
Masyarakat sipil terdiri dari individu-individu yang masing-masing berdiri sendiri atau dengan istilah Hegel bersifat atomis. Akibatnya, anggota dalam masyarakat sipil (civil society) tidak mampu mengobyektifkan kehendak dan kebebasan mereka. Kehendak dan kebebasan mereka bersifat subyektif-partikular. Meskipun demikian, masing-masing anggota dalam mengejar pemenuhan kebutuhannya saling berhubungan satu sama lain. Civil society menjadi tempat pergulatan pemenuhan aneka kebutuhan dan kepentingan manusia yang menjadi anggotanya. Dalam kerangka penggambaran ini, masyarakat sipil adalah masyarakat yang bekerja. Karena kegiatan masyarakat sipil tidak dibatasi oleh negara, maka dalam masyarakat sipil terjadilah usaha penumpukan kekayaan yang intensif.
Berkaitan dengan ciri kerja itu, masyarakat sipil ditandai dengan pembagian kelas sosial yang didasari pada pembagian kerja yaitu kelas petani, kelas bisnis dan kelas birokrat atau pejabat publik (public servants). Kelas petani mengolah tanah dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarga-keluarga. Kelas bisnis terdiri dari pengrajin, pengusaha manufaktur dan pedagang. Kelas pelayan publik bertugas memelihara kepentingan umum komunitas masyarakat sipil. Kelas pejabat publik ini bila ditinjau dari gaji yang diperoleh merupakan kelas dalam masyarakat sipil, tetapi bila ditinjau dari tugasnya, ia termasuk kelas eksekutif dalam negara. Jadi, kelas birokrat atau pejabat publik ini dalam pemikiran Hegel merupakan jembatan dari masyarakat sipil ke negara.
Masyarakat sipil adalah masyarakat yang terikat pada hukum. Hukum diperlukan karena anggota masyarakat sipil memiliki kebebasan, rasio dan menjalin relasi satu sama lain dengan sesama anggota masyarakat sipil itu sendiri dalam rangka pemenuhan kebutuhan mereka. Hukum merupakan pengarah kebebasan dan rasionalitas manusia dalam hubungan dengan sesama anggota masyarakat sipil. Tindakan yang melukai anggota masyarakat sipil merupakan tindakan yang tidak rasional.
Ciri kerja dan sifat atomis dari masyarakat sipil ini menyebabkan masyarakat sipil lebih menyukai bantuan kepada orang miskin tidak melalui bantuan langsung tetapi dengan cara memberi pekerjaan kepada mereka sehingga akan meningkatkan produktifitas komunitas. Hegel lebih lanjut mengatkaan bahwa pada titik tertentu masyarakat sipil mencapai kelimpahan produksi sebagai akibat dari kerja para anggota masyarakat sipil. Titik jenuh produksi ini disebut Hegel sebagai tingkat kematangan masyarakat sipil. Dalam tingkat kematangan ini, masyarakat sipil harus mencari pasar di tempat lain dengan cara mengkoloni tempat tersebut. Tapi Hegel menyebutkan alasan tindakan koloni itu dalam rangka mencukupi kebutuhan keluarga-keluarga di tempat lain.
C. Negara (State)
Negara merupakan badan universal dimana keluarga dan masyarakat sipil dipersatukan. Sebagai badan universal, negara mencerminkan kehendak dari kehendak partikular rakyatnya. Keuniversalan kehendak negara sebenarnya telah ada secara implisit dalam kehendak individu masyarakat sipil yaitu ketika mereka mengejar pemenuhan kebutuhan pribadi sekaligus juga memenuhi kebutuhan individu-individu lain dalam masyarakat sipil. Negara mempersatukan segala tuntutan dan harapan sosial masyarakat sipil dan keluarga.
Dalam kedudukannya yang tertinggi, negara mengatur sistem kebutuhan masyarakat sipil dan keluarga dengan memberikan jaminan stabilitas hak milik pribadi, kelas-kelas sosial dan pembagian kerja. Pengaturan negara itu dilakukan melalui hukum. Melalui hukum itu, negara berfungsi untuk memperkembangkan agregat tindakan rasional sebab pembatasan yang dilakukan oleh hukum negara merupakan pembatasan rasional yang diperlukan bagi keberadaan individu-individu lainnya. Kebebasan individu ditentukan oleh rasionalitas manusia. Hukum negara menjadi instrumen untuk mengingatkan manusia agar tidak bertindak irrasional.
Bagi Hegel, negara adalah kesatuan mutlak. Oleh karena itu, Hegel menolak pembagian kekuasaan di dalam negara. Di dalam negara, tidak ada pembagian kekuasaan tetapi yang ada adalah pembagian pekerjaan untuk masalah-masalah universal. Negara yang digambarkan Hegel sebagai ideal dari konsep kesatuannya adalah negara monarki konstitusional yang tersusun dalam Legislatif, Eksekutif dan Raja. Raja merupakan kekuasaan pemersatu dan sekaligus yang tertinggi dari semuanya. Eksekutif merupakan kelompok birokrasi yang pejabatnya diangkat berdasarkan keahlian dan digaji tetapi pekerjaannya menyangkut masalah-masalah universal dan harus bebas dari pengaruh-pengaruh subyektif. Legislatif bergerak di bidang pembuatan hukum dan konstitusi serta menangani masalah-masalah dalam negeri yang dalam hal ini diduduki oleh Perwakilan (Estate) yang terdiri dari kelas bawah yaitu kelas petani, kelas bisnis dan kelas tuan tanah. Perwakilan (Estate) dalam legislatif bertugas agar Raja tidak bertindak sewenang-wenang dan mencegah agar kepentingan-kepentingan partikular dari individu, masyarakat dan korporasi jangan sampai melahirkan kelompok oposisi terhadap negara. Dalam hubungannya dengan Raja, Perwakilan ini juga menjadi penasehat Raja. Bagi Hegel, negara monarki konstitusional merupakan bentuk negara modern yang rasional karena monarki konstitusional merupakan hasil pemikiran yang bersifat evaluatif atas monarki lama.
MARX : NEGARA DAN MASYARAKAT SIPIL
A. Latar Belakang: Kritik Marx Atas Pemikiran Negara dan Masyarakat Sipil Hegel.
Marx mengritik pemisahan negara dan civil society dari Hegel menjadi penyebab keterasingan manusia. Manusia dalam civil society bersifat egois. Manusia-manusia lain dalam civil society saling memanfaatkan satu sama lain demi mencukupi kebutuhan mereka sendiri dan karena itu dalam civil society akan terjadi anarki. Oleh karena itulah, civil society memerlukan negara yang memaksa mereka untuk bersikap sosial melalui kepatuhan kepada hukum. Menurut Marx, seandainya individu dalam civil society itu tidak terasing dari kesosialannya, negara tidak diperlukan lagi.
Jadi, yang menjadi pokok bukan negara tetapi justru manusia dalam masyarakat sipil itulah yang yang menjadi realitas pertama. Oleh karena itu, Marx sependapat dengan Feuerbach bahwa filsafat Hegel terbalik secara hakiki . Logika Hegel mengenai negara membawahi civil society dibalik menjadi civil society membawahi negara. Logika pembalikan ini bisa dijelaskan dalam pengertian civil society sebagai masyarakat borjuis dan negara merupakan alat di tangan borjuis untuk melanggengkan proses penghisapan terhadap kaum buruh.
Marx mengatakan bahwa teori negara Hegel tidak dapat menyelesaikan konflik tetapi justru akan melembagakan konflik itu sendiri dalam negara. Mengapa demikian? Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh Marx yaitu : pertama, perwakilan dalam negara monarki konstitusional yang keanggotaannya terdiri dari bermacam-macam kelas justru akan melahirkan konflik di antara kelas-kelas itu sendiri. Kedua, kelas birokrat yang ditampilkan Hegel akan memperjuangkan kepentingan kelas dari mana pejabat birokrasi itu berasal dan ketiga, pemisahan negara dengan masyarakat sipil akan melanggengkan konflik kepentingan antara negara dengan masyarakat sipil.
B. Pandangan Marx : Civil Society
Marx memandang civil society sebagai masyarakat yang dicirikan oleh pembagian kerja, sistem pertukaran dan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Pandangan ini memang sama dengan pandangan Hegel, tetapi kemudian ia menambahkan bahwa masyarakat sipil itu terbagi dalam dua bagian yaitu kaum majikan atau kaum borjuis sebagai pemilik alat produksi (property-owners) dan kaum buruh atau kaum proletar yang tidak memiliki alat produksi (propertyless). Pembagian struktur dalam masyarakat sipil itu merupakan akibat dari adanya hak atas milik pribadi.
Sistem hak milik pribadi dalam masyarakat sipil mengakibatkan manusia mengalami alienasi. Buruh terasing dari pekerjaannya karena pekerjaan itu tidak lagi mencerminkan tindakan paling luhur manusia tetapi menjadi sesuatu yang rutin, membosankan dan tanpa makna, demi mendapatkan upah. Buruh juga terasing dengan majikan karena masing-masing mencari kepentingan sendiri-sendiri. Buruh juga terasing dengan sesama buruh karena mereka saling berebut pekerjaan.
Masyarakat sipil juga ditandai dengan penghisapan buruh oleh majikan. Buruh diperas tenaganya demi kepentingan majikan. Gambaran ini merupakan konsekuensi dari pandangan Marx atas civil society sebagai masyarakat kapitalis.
C. Pandangan Marx : Negara.
Negara dalam, pandangan Marx, alat di tangan kaum borjuis untuk mempertahankan kepentingannya. Pandangan ini didasarkan pada paham materialisme sejarah Marx yang menempatkan negara dalam bangunan atas (supra struktur) bersamaan dengan hukum, ideologi, agama, filsafat dan lain-lain. Ada pun ekonomi yang menjadi sentral dari perkembangan sejarah manusia berada dalam bangunan bawah (infra strukture). Negara menjadi alat kaum borjuis untuk menjamin kelangsungan penindasan terhadap kaum buruh agar kaum buruh tidak berusaha membebaskan diri dari usaha penghisapan dari kaum majikan. Sedangkan hukum, moral, agama, filsafat yang disebut juga dengan “bangunan atas ideologis” berfungsi memberikan legitimasi bagi usaha penghisapan yang dilakukan oleh kaum majikan.
Negara muncul sebagai akibat dari kebutuhan kaum borjuis untuk melindungi keberlangsungan proses kapitalisme yang ada dalam dalam masyarakat sipil. Relasi-relasi dalam masyarakat sipil dikendalikan oleh relasi-relasi produksi kapitalis sehingga dalam masyarakat sipil terkandung tirani ideal bagi konsolidasi kapitalisme. Negara akan melindungi proses kapitalisme itu dari segala macam upaya yang akan menggagalkan proses tersebut.
D. Utopi : Negara dan Masyarakat Sipil Pasca Kapitalisme.
Menurut Marx biang keladi dari seluruh keterasingan manusia adalah struktur ekonomi. Oleh karena itu, agar keterasingan manusia itu bisa dihilangkan, maka struktur ekonomi itu harus diubah. Perubahan struktur ekonomi itu dilakukan melalui revolusi yaitu pertentangan antara kelas buruh melawan kelas majikan. Dalam perhitungan Marx, kelas buruh akan memenangkan perlawanan itu sehingga alat-alat produksi beralih dari tangan kaum majikan kepada kaum buruh.
Pada tahap awal pasca revolusi itu, negara masih dibutuhkan tetapi dalam bentuk “diktator proletariat”. Negara dalam bentuk ini dibutuhkan untuk memastikan bahwa kaum kapitalis sudah tidak ada lagi dan untuk menjalani masa transisi kaum buruh dari ketrampilan spesialis sebagai akibat dari pembagian kerja menjadi ketrampilan universal dalam rangka mengatasi pembagian kerja.
Hasil akhir yang digambarkan Marx adalah sebuah masyarakat yang bebas dan kreatif dalam masyarakat komunis. Masing-masing orang bisa bekerja kapan saja, mau melakukan hobinya kapan saja sebelum atau sesudah bekerja. Dalam masyarakat komunis ini, pembagian kelas sudah tidak ada lagi. Negara pun sudah mati dengan sendirinya karena tidak ada yang lagi yang ditindas. Proses produksi dipimpin oleh persekutuan bebas semua individu.
GRAMSCI : NEGARA DAN MASYARAKAT SIPIL
A. Latar Belakang: Kritik Terhadap Marx.
Gramsci mengritik ekonomisme Marx yang didasarkan pada materialisme sejarah. Menurut Gramsci, pembagian struktur kehidupan pada bangunan atas dan bangunan bawah mengakibatkan kegagalan Partai Sosialis Italia dalam mengobarkan semangat revolusi 1912-1920. Gambaran struktur Marx itu pula yang menyebabkan gerakan buruh melemah dan buruh tunduk pada struktur penindasan kapitalis dan fasisme.
Gramsci menolak paham ekonomistis Marx. Bagi Gramsci, perubahan ke arah masyarakat sosialis bukan semata-mata bercorak ekonomistis, tetapi juga harus memperhatikan aspek sosial, budaya dan ideologi. Oleh karena itu, hegemoni menjadi tema sentral dalam pemikiran Gramsci sebagai upaya mewujudkan cita-cita masyarakat sosialis-nya.
Gramsci juga menolak pemikiran Marx mengenai revolusi yang akan mengganti secara total negara dengan masyarakat tanpa kelas. Bagi Gramsci, perubahan ke arah sosialisme harus dilakukan dengan memanfaatkan jalur-jalur yang tersedia. Bertolak dari kondisi yang sudah ada itu, buruh membuat jaringan dan aliansi-aliansi baru dengan kelompok-kelompok sosial yang ada melalui hegemoni.
B. Pemikiran Gramsci : Masyarakat Sipil
Gramsci memasukkan masyarakat sipil dalam bangunan atas (super structure) Marx bersama dengan negara. Dalam masyarakat sipil, terjadi proses hegemoni oleh kelompok-kelompok dominan sedangkan negara melakukan dominasi langsung kepada masyarakat sipil melalui hukum dan masyarakat politik. Gramsci sendiri mengakui bahwa senyatanya masyarakat sipil telah terhegomi. Pengakuannya itu diungkapkan dengan mengatakan bahwa masyarakat sipil adalah etika atau moral.
Gramsci membedakan masyarakat sipil dengan masyarakat politik. Masyarakat politik adalah aparat negara yang melaksanakan fungsi monopoli negara dengan koersi, yang di dalamnya meliputi tentara, polisi, lembaga hukum, penjara, semua departemen administrasi yang mengurusi pajak, keuangan, perdagangan dan sebagainya. Masyarakat sipil adalah wilayah dimana relasi antara kelompok tidak dilakukan dengan koersi. Maka Gramsci mengatakan bahwa masyarakat sipil mencakup organisasi-organisasi privat seperti gereja, serikat dagang, sekolah, dan termasuk juga keluarga. Gramsci juga mengatakan bahwa organisasi-organisasi dalam masyarakat sipil mempunyai tujuan yang berbeda-beda seperti politik, ekonomi, olah raga, seni dan sebagainya namun mereka memiliki asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang diterima oleh masyarakat meskipun sering tidak kentara.
Masyarakat sipil merupakan salah satu bagian dari masyarakat kapitalis. Gramsci mengatakan masyarakat kapitalis terdiri dari tiga jenis hubungan yaitu hubungan dasar antara pekerja dan pemodal, hubungan koersif yang menjadi watak negara, dan hubungan sosial lainnya yang membentuk masyarakat sipil. Maka bagi Gramsci, masyarakat sipil bukan negara karena negara bersifat koersif dan bukan produksi karena dalam produksi terjadi tindakan koersif pemilik modal kepada buruh. Ronnie D. Lipschutz merumuskannya dengan mengatakan “Gramsci placed civil society between state and market and outside of the private sphere of family and friendship.”
Masyarakat sipil merupakan medan perjuangan politik. Oleh karena itu, dalam rangka pembentukan negara sosialis, Gramsci mengatakan perlunya kelompok buruh membangun hegemoni atas kelompok-kelompok lain dalam masyarakat sipil dengan sebuah ideologi baru yang mampu mewadahi kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat sipil dan sekaligus mampu mewadahi kepentingan kelompok buruh. Dalam hal ini, kelompok buruh harus mampu mentransformasi ideologi-ideologi yang ada dengan tetap mempertahankan unsur-unsur penting dari masing-masing ideologi itu dan menyusunnya menjadi sebuah ideologi baru yang mencakup semua termasuk kepentingan kelompok buruh sendiri.
Karena masyarakat sipil telah terhegemoni, maka kelompok buruh perlu melakukan kontra hegemoni. Dalam hal ini, kelompok buruh membangun hegemoni dengan melakukan “perang posisi” melawan hegemoni negara yang telah menjadi blok historis. Pada saatnya nanti ketika negara sosialis telah terbentuk, kelompok buruh harus tetap membangun hegemoni agar menjadi blok historis.
Ketika kelompok buruh memperoleh kekuasaan negara, masyarakat sipil harus sudah maju. Kemajuan masyarakat sipil diukur dari kemampuan membangun hubungan secara otonom, kemampuan mengatur dirinya sendiri (self-governing) dan adanya disiplin diri masyarakat. Tanpa disertai dengan kemajuan masyarakat sipil, maka kelompok buruh akan tetap memiliki ketergantungan yang kuat terhadap negara atau tetap berada dalam periode statolatry. Oleh karena itu, periode statolatry harus terus menerus dikritik agar masyarakat sipil menjadi maju dimana terjadi perkembangan inisiatif individu dan kelompok.
C. Pemikiran Gramsci : Negara.
Bagi Gramsci, negara adalah masyarakat politik dan masyarakat sipil. Negara memiliki alat-alat koersif yaitu lembaga-lembaga yang disebutnya sebagai masyarakat politik. Tetapi negara tidak semata-mata melakukan koersif saja tetapi negara juga melakukan apa yang ia sebut sebagai ‘peran edukatif dan formatif negara’ yaitu melakukan hegemoni. Masyarakat sipil merupakan masyarakat yang telah terhegemoni oleh negara sehingga memampukan negara menjadi blok historis berkat dukungan dari masyarakat sipil. Itulah sebabnya, ia mengatakan bahwa negara merupakan masyarakat politik dan masyarakat sipil.
Pemikirannya mengenai negara sebagai masyarakat politik dan masyarakan sipil melahirkan gagasan mengenai negara integral. Pemahaman mengenai negara integral tidak bisa dilepaskan dari gagasannya mengenai sifat kekuasaan. Kekuasaan dipahami oleh Gramsci sebagai hubungan sosial. Hubungan sosial negara terjadi terhadap masyarakat politik dan juga terhadap masyarakat sipil. Jadi, di dalam masyarakat sipil disamping terdapat hubungan sosial di antara kelompok-kelompoknya sendiri juga terdapat hubungan sosial dengan negara.
Gramsci memikirkan negara yang dicita-citakannya dalam gambaran Dewan Pabrik. Dewan pabrik ini merupakan hasil cetusan gagasannya mengenai perlunya transformasi komisi internal yang ia lontarkan saat ia duduk dalam kepengurusan komisi internal di Turin. Inti gagasannya mengenai transformasi itu adalah agar komisi internal sebagai organ kekuasaan proletarian menggantikan kelompok pemodal dalam menjalankan fungsi-fungsi manajemen dan administrasi sehingga komisi internal bisa menjadi sekolah politik dan administrasi bagi kaum pekerja. Gagasan itu diterima dengan cepat sehingga komisi internal berkembang menjadi dewan pabrik. Dalam dewan pabrik ini, pekerja dapat melakukan kontrol atas proses produksi, mengambil alih fungsi manajemen dan administrasi. Dengan demikian, bagi Gramsci, dewan pabrik membangun kesadaran politik akan negara demokrasi langsung yang dibangun atas partisipasi rakyatnya. Dengan menggambarkan dewan pabrik sebagai embrio negara, Gramsci mencita-citakan sebuah negara demokrasi langsung dimana kendali atas proses produksi berada di tangan kelompok buruh.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa pemikiran mengenai negara dan masyarakat sipil mengalami pasang surut dalam perjalanan sejarah. Dalam pemikiran Hegel, masyarakat sipil adalah masyarakat yang hidupnya tidak dicampuri urusannya oleh negara. Hegel belum memaksudkan masyarakat sipil seperti yang dikemukakan oleh Larry Diamond. Hegel masih mengartikan sebagai sebuah masyarakat biasa, komunitas yang terdiri dari individu-individu, yang kehidupannya tidak dicampuri oleh negara. Dalam kaitan ini, negara dipandang Hegel sebagai pengatur dan pemersatu dari masyarakat sipil melalui hukum, lembaga-lembaga peradilan dan lembaga kepolisian. Pemikiran Hegel ini diinterpretasikan oleh Marx dalam kerangka perjuangan kaum buruh. Masyarakat sipil dipandang sebagai kelompok yang teralieanasi sehingga masyarakat membutuhkan negara. Masyarakat sipil adalah masyarakat dimana terjadi penghisapan buruh oleh majikan. Negara juga dipandang sebagai alat di tangan kaum borjuis untuk mempertahankan kedudukannya. Maka Marx mencita-citakan sebuah masyarakat tanpa kelas sehingga individu-individu mendapatkan kebebasan dan bekerja seturut kodratnya sebagai manusia. Dalam kondisi seperti ini, negara mati dengan sendirinya. Perwujudan utopi itu dilakukan melalui revolusi yang akan menghapus kepemilikan alat produksi dari kaum borjuis. Gramsci menentang teori ekonomistis Marx ini dan mengatakan bahwa perubahan masyarakat sosialis harus bertolak dari kondisi yang ada. Perubahan harus dilakukan oleh kelompok buruh melalui hegemoni dalam masyarakat sipil. Masyarakat sipil dalam pemikiran Gramsci sudah mulai dipikirkan adanya organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok yang otonom. Meskipun organisasi-organisasi itu saling membangun hegemoni sendiri, negara juga tidak ketinggalan membangun hegemoni di antara kelompok-kelompok itu. Negara disamping memiliki kekuatan untuk membangun hegemoni masyarakat sipil, juga memiliki masyarakat politik sebagai alat koersif negara.
Sumbangan pemikiran yang penting bagi perkembangan demokrasi dari ketiga pemikiran itu adalah bahwa kehidupan masyarakat sipil harus menjadi wilayah kebebasan (Hegel) sehingga akan menjadi medan kehidupan yang manusiawi (Marx). Dengan kebebasan itu, organisasi-organisasi kemasyarakatan akan tumbuh memperkuat demokrasi (Gramsci). Mereka mampu bersikap kritis terhadap negara (Gramsci) sehingga memungkinkan terciptanya kehidupan yang lebih baik dengan dilandasi pada rationalitas dan kebebasan manusia (Hegel). Negara dalam hal ini harus terus menerus menyandarkan diri dalam rasionalitasnya (Hegel) agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan berupa penyalahgunaan lembaga-lembaga koersifnya (Hegel, Marx, Gramsci) maupun penyalahgunaan kemampuan hegemoniknya melalui struktur hukum, ideologi atau pendidikan (Hegel, Marx, Gramsci).
Demikianlah pemaparan atas pemikiran Hegel, Marx dan Gramsci. Semoga bermanfaat bagi wacana kita dalam memperkembangkan demokrasi di Indonesia.
Daftar Pustaka
Anafansyev, V. Marxist Philosophy A Popular Outline. trans. by Leo Lempert. Rev.Ed. Moscow : Progress Publishers, 1965
Calabrese, Andrew. “The Promise of Civil Society : A Global Movement for Communication Rights.” Continuum : Journal of Media and Cultures Studies 3 (September 2005), 317-329.
Hegel’s Philosophy of Right. Transl. T.M. Knox. Reprint. London : Oxford University Press, 1981.
Iskandar, Deddy. “Mengenal dan Mengritik Gramsci.” Pemikiran-pemikiran Revolusioner. Ed. Saiful Arif. Malang : Averroes Press, 2001
Lipschutz, Ronnie D. “Power, Politics and Global Civil Society.” Millenium: Journal of International Studies 33 (3:2005)
McLellan, David. “Marx, Engels and Lenin on Party and State.” The Withering Away of State?Party State under Communism, ed. Leslie Holmes. London : SAGE Publications Ltd, 1981.
McClelland, J.S. History of Western Political Thought. London : Routledge, 1996.
Muukkonen, Martti. “Civil Society.” Makalah dalam Annual Meeting of Finish Sociologist, Turku, 24 – 25 Maret 2000.
Nina, Daniel. “Beyond The Frontier : Civil Society Revisited.” Transformation 17 (1992), 61-73.
Suseno, Franz Magnis. Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta:Gramedia, 1991
Suseno, Franz Magnis. Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta : Gramedia, 1999.
Shils, Edward. “The Virtue of Civility,” Selected Essay on Liberalism, Tradition and Civil Society. Ed. Steven Grosby. Indiana Polis : Liberty Fund, 1997.
Simon, Roger. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. terj. Kamdani et al. Yogyakarta : Insist, 2000.
Stumpf, Samuel Enoch. Philosophy History and Problems. Fifth edition. New York : McGraw Hill Inc, 1994.

Rabu, 31 Maret 2010

Pilkada Damai

suasana perpolitikan SBT seharusnya memberikan niali demokratis dalam tatanan kemasrakatan,
percikan konflik seharusnya dihindarkan dalam setiap gerakan yang dibangun demi terwujudnya SBT yang lebih baik.